Kamis, 30 Juni 2011

Ada Apa dalam QS Al A’raf:204

Pernahkah kita melakukan/mengalami hal-hal berikut:
·        Pada saat kita asyik tilawah tiba-tiba ada seorang yang memanggil, bahkan ketika kita abaikan panggilannya maka ia kemudian menepuk punggung kita, berharap kita segera merespon panggilannya. Hingga akhirnya kita pun menghentikan tilawah seraya melayani keperluan orang yang memanggil tersebut.
·       Saat sedang asyik tilawah, dering sms memecah kesyahduan lantunan suara ayat Quran yang meluncur dari mulut kita, seketika itu pula tangan kita dengan sigap meraih HP yang memang tak jauh dari jangkauan, sejenak mata kita kemudian membaca deretan kalimat dalam layar HP tersebut. Berlanjut kemudian, giliran jari-jemari yang bekerja hingga terangkailah kalimat balasan untuk segera kita kirimkan. Setelah itu, barulah kita melanjutkan kembali bacaan tilawah yang tertunda tadi. Atau mungkin dalam kesempatan lain, kita bahkan melakukannya secara berulang, ketika ada sms atau panggilan masuk. Kita selalu segera merespon cepat sms atau panggilan tersebut untuk kemudian kita melanjutkan bacaan Quran kembali.    
·        Ketika dalam satu majelis pengajian, yang mungkin saja ataupun kita tahu dengan pasti, pada saat itu agenda pembacaan ayat Alquran sedang berlangsung, kita datang tergopoh-gopoh (karena terlambat) lalu dengan sopannya kita mengucapkan salam dengan keras, berharap ada yang menyambut kehadiran kita.

Jika jawabannya adalah pernah atau bahkan seringkali kita lakukan, maka mulai sekarang marilah kita perluas pemahaman kita.
Simak dengan baik firman Allah SWT berikut:
“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat”. (Q.S. Al A’raf: 204)

Perhatikan dengan baik, ayat di atas mengisyaratkan kita bahwa ketika Al Quran dibacakan, maka perintah Allah SWT tidak lain dan tidak bukan adalah menyuruh kita agar mendengarkan dan berdiam. Mendengarkan? Yah, tentu. Lalu mengapa mesti juga dengan diam? Kondisi diam adalah suatu kondisi kita dapat dengan mudah menerima/menangkap pesan-pesan Al Quran yang dibacakan. Diam juga merupakan saat kita dapat dengan mudah fokus terhadap sesuatu. Maka mendengarkan dan diam selanjutnya dapat menghasilkan rahmat, begitu Allah SWT mengimingi.
Rahmat Allah SWT, siapa yang tidak mau mendapatkan kasih sayang Allah SWT. Kalau kita merasa girang bukan kepalang dengan kasih sayang seseorang maka bagaimana bila yang memberi kasih sayang adalah Allah SWT? Sang Maha Pengasih. Tak terbayangkan, sebab itulah dambaan kita sebagai makhluk ciptaanNya.
Nah, rahmat Allah SWT tersebut dapat berkurang dan bahkan hilang ketika kita tidak mengamalkan perintahNya dalam Q.S. Al A’raf:204. Jelas, bagaimana tidak, jika kita lebih mendahulukan hal lain bahkan ketika kita sedang berinteraksi dengan Allah SWT sekalipun. Bukannya berarti kita sedang berinteraksi dengan Allah SWT tatkala kita sedang membaca firman-firmanNya? Sebab, membaca Al Quran sama juga kita membaca perkataan-perkataan Allah SWT. Lalu saat kita sedang asyik berinteraksi dan terpotong, apakah tandanya kita tidak mempunyai etika yang baik terhadap pencipta kita? Walaupun dengan dalih toleransi terhadap seorang yang memanggil. Apalagi jika hanya sekedar merespon sms.
Bahkan, dengan kehati-hatiannya sebagian ulama tidak menyukai pemutaran kaset murottal, yang biasa diputar dimasjid-masjid saat menjelang waktu sholat jumat tiba, ataupun yang juga sering kita putar sekedar untuk menemani waktu-waktu istirahat kita, saat kita sedang berkendara, saat di kamar, dll. Kecuali memutarnya dengan niat untuk mendengarkan dan berdiam untuk itu, maka tentu tidak masalah. Namun, bagaimana jika saat pemutaran kaset murottal tersebut, kita sedang melakukan aktivitas lain, bersih-bersih rumah, bekerja, belajar, berkendara, dll., tentu ditakutkan rahmat Allah SWT akan berkurang. 
Dan untuk para “pengganggu” seorang yang tengah membaca Al Quran, berhati-hatilah. Allah SWT telah menyiapkan azab yang keras.
“Dan orang-orang yang kafir berkata, janganlah kamu mendengarkan (bacaan) Al Quran ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya, agar kamu dapat mengalahkan (mereka).” (Q.S. Fussilat:26)
“Maka sungguh, akan Kami timpakan azab yang keras kepada orang-orang kafir itu dan sungguh, akan Kami beri balasan mereka dengan seburuk-buruk balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. Fussilat:27) 
Astaghfirullah. Jika tidak mendengarkan dan berdiam saja (saat dibacakan Al Quran) dapat mengurangi rahmat Allah SWT, maka balasan bagi pengganggu ini pun ternyata sangatlah keras. Kita berlindung serta memohon ampun atas kekeliruan yang mungkin selama ini tanpa sadar telah kita lakukan.
Mulai sekarang, marilah kita lebih berhati-hati lagi. Menunggu sampai Al Quran selesai dibacakan mungkin adalah pilihan terbaik saat kita terlambat menghadiri suatu majelis dimana kala itu Al Quran sedang dibacakan. Sama halnya, menunggu seorang teman sampai selesai membaca Al Quran insyaallah lebih baik walaupun kita diburu perlu yang mendesak. Yah, daripada kita masuk dalam kategori “pengganggu”. Masalah yang disampaikan diawal tulisan ini hanyalah segelintir contoh. Masih banyak kondisi lain yang tidak bisa kita lepaskan aplikasinya dari Q.S. Al A’raf:204.

 Karena ilmu mendahului iman dan amal maka sudah tentu hal pertama dan utama yang mesti kita lakukan adalah senantiasa mengupgrade pemahaman kita tersebut. Ini tidak lain agar kita terhindar dari dosa serta kerusakan-kerusakan yang mungkin kita lakukan akibat ketidaktahuan.
Wallahu alam bishawab.

Agar Dakwah Bersemi Indah

“Akhi, janganlah sampai kita dibenci karena akhlak, kita hanya boleh dibenci oleh apa yang kita dakwahkan.” Begitu pesan seorang ustadz di suatu malam pertemuan. Benar, sebab seperti itulah yang dapat kita tangkap dari kisah perjalanan hidup manusia mulia, Rasulullah SAW. Tidak pernah sekalipun sejarah mencatat cacat dalam diri Rasulullah SAW. Bahkan sang musuh sekalipun menggelari beliau Al Amin (terpercaya), gelar yang teramat susah didapat kala itu. Itulah sebabnya dakwah Rasulullah SAW meluas melintas batas antar negara,  merembet sampai pelosok desa, diterima oleh beragam suku, bangsa dan bahasa, entah ningrat maupun melarat, berkulit hitam, putih, ataupun coklat.
Pernah suatu ketika Rasulullah SAW keluar dari rumahnya untuk menuju ke bukit Shafa. Setelah sampai di atas bukit tersebut, beliau lalu memanggil orang-orang Quraisy yang saat itu tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Mendengar seruan Muhammad SAW, sebagian orang Quraisy pun berkumpul. Kemudian Rasulullah berkata kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian seandainya aku beritakan bahwa ada segerombolan kuda di lembah yang akan menyerbu. Apakah kalian percaya kepadaku?” Lalu orang-orang Quraisy itupun berkata, “Kami percaya kepadamu. Engkau tidak pernah berdusta kepada kami. Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan, “Sesungguhnya aku memberikan peringatan bagi kalian. Dihadapanku ada siksa yang pedih.” Dengan angkuhnya Abu Lahab mencela seruan Nabi SAW  ini,”Celakalah engkau, apakah untuk ini engkau mengumpulkan kami?”   
Well, bukan karena orang-orang Quraisy tidak percaya dengan apa yang disampaikan Rasulullah. Mereka sangat percaya dengan kejujuran Rasulullah yang memang tidak pernah berbohong bahkan dikala kebohongan merajalela. Mereka hanya menolak ajaran baru yang dibawa Muhammad SAW. Islam yang dibawa Muhammad SAW dianggap telah mencela agama nenek moyang mereka, menghina Tuhan mereka serta membodohi pikiran mereka.
Mengenai hal ini Allah SWT berfirman untuk menghibur kekasihnya,
“Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan kepadamu itu menyedihkan hatimu. Akan tetapi, janganlah bersedih karena mereka sebenarnya tidak mendustakan kamu, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Allah.” (Q.S. Al-An’am:33)
Lain lagi kisah yang terjadi dengan tokoh Quraisy lainnya. Pada masa-masa awal islam yang dibawa Rasulullah SAW, orang-orang Quraisy berkonspirasi jahat dengan menghadang siapapun yang datang ke Mekkah, tidak hanya itu mereka juga menyebarkan kabar bahwa Rasulullah SAW adalah seorang tukang sihir. Ini dilakukan oleh orang-orang Quraisy agar dakwah yang disampaikan Rasulullah SAW tidak meluas. Akan tetapi, lucunya pada waktu itu ada seorang Quraisy yang bernama Nadhir ibn Harits, tidak setuju dengan rencana kaumnya tersebut. “Ketika Muhammad dalam usia muda, dia adalah orang yang paling menyenangkan, paling jujur, dan paling terpercaya di antara kamu sekalian, sampai memutih rambutnya dan sampai menyampaikan ajaran kepada kamu. Lalu kemudian kamu sekalian mengatakan, ‘Dia tukang sihir (penipu).‘ Tidak! Demi Allah, dia bukanlah seorang tukang sihir.” Begitulah Ibn Abbas meriwayatkan sanggahan yang disampaikan Nadhir Ibn Harits mengenai konspirasi yang akan dilakukan oleh orang-orang Quraisy.
Kisah di atas hanya segelintir “pujian” dari musuh-musuh islam waktu itu mengenai akhlak mulia Rasulullah SAW. Next, sebagai pelanjut risalah yang dibawa Rasulullah SAW untuk menyebarkan dakwah beliau, apakah kita sudah dikatakan memiliki akhlak yang mulia? Sebagai syarat agar dakwah kita diterima? Sebab bagaimana mungkin orang lain akan mendengarkan apa yang kita sampaikan jika seringkali kita ingkar janji. Kita berbicara silaturahmi sementara kerabat setahun sekali belum tentu dikunjungi. Kita bicara kebersihan sementara rumah sendiri tak terurus berantakan. Kita berbicara sholat sementara seringkali kita datang tak tepat alias terlambat. Kita bicara taubat namun hati pun ternyata semakin pekat. Kita bicara kiamat semakin dekat sementara dosa semakin lama semakin berlipat.
Sebab Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak, sebab dakwah hanya bisa diterima dengan mulianya akhlak, maka tidak lain yang mesti terus kita benahi adalah akhlak. Mari kita dicintai karena akhlak, agar dakwah bersemi indah. Fastabaqul Khoirah.
Wallahu alam bishawab. 
 

Rabu, 29 Juni 2011

Aku

Gelap dan kelam melebihi pekat malam yang kurasa
Dosa dan kesalahan saling berlomba
Aku buta tak tau arah...
Aku hina, bukan untuk dicela
Aku lelah, adakah celah, kemanakah cahaya?